Tolak Pemberlakuan Perppu Cipta Kerja, Buruh Siap Judicial Review Perppu Cipta Kerja

2 Januari 2023, 09:23 WIB
PRESIDEN KSPI Said Iqbal saat turun ke jalan menentang pemberlakuan UU Cipta Kerja di depan Istana Negara /F. PARTAI BURUH

KEPRI POST - Gelombang menentang Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja terus berdatangan. Kali ini yang menolak diberlakukannya Perppu No 2 Tahun 2022 datang dari serikat buruh.

Mereka menilai Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, jauh lebih buruk dibandingkan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dengan alasan itulah, serikat buruh menyiapkan langkah untuk menjegal Perppu yang diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu.

Hal tersebut dibenarkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalan konferensi pers-nya secara online, Minggu 1 Januari 2023.

Langkah yang dimaksud, dimulai dari lobi-lobi. Dari upaya itulah, diharapkan serikat pekerja bisa bertemu langsung Presiden Jokowi, sekaligus memberikan masukan terkait perubahan perppu.

Seandainya tak bisa bertemu Presiden Jokowi, buruh akan mengambil langkah lain yakni dengan mengajukan melakukan judicial review.

Langkah lainnya, buruh akan menggelar aksi turun jalan besar-besaran bila perppu tetap dipaksakan diberlakukan.

Ada sejumlah pasal yang ditolak oleh buruh di dalam poin perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal yang dimaksud misalnya tentang upah minimum.

Menurut Said Iqbal, ketentuannya sama dengan isi UU Cipta Kerja yang sejak awal ditolak oleh buruh. Dalam perppu, upah minimum kabupaten/kota dipakai istilah bisa ditetapkan oleh gubernur, yang artinya bisa ada bahkan bisa juga tidak, tergantung gubernur-nya.

Sedangkan buruh minta gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

Berikutnya terkait upah minimun lainnya yakni soal kenaikan yang bergantung pada pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Yang menjadi penolakan adalah adanya kata "atau" yang mengharuskan dipilih antara inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

Menurut serikat pekerja atau buruh, di UU Nomor 13 Tahun 2003 didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak dan turunannya PP78/2015 menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Belum lagi terdapat variabel indeks tertentu yang menjadi patokan kenaikan. Padahal dalam hukum ketenagakerjaan, tidak pernah dikenal istilah indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.

Berikutnya dalam pasal 88F yang berbunyi dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). Buruh mengartikan hal tersebut seperti memberikan mandat kosong ke pemerintah. Alhasil bisa seenaknya mengubah aturan.

Berikutnya yang ditolak buruh adalah outsourcing atau alih daya. Dalam Perppu disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan mengenai aturan pesangon juga turut disorot buruh. Dalam Perppu tersebut tidak ada perubahan. Padahal, buruh jelas meminta kembali pada UU No 13 Tahun 2003. (***)

Editor: Romi Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler