5 Masalah Industri Batik di Luar Jawa yang Krusial Menghadapi Batik Impor China

1 Oktober 2022, 11:45 WIB
ilustrasi persaingan industri batik di pasaran /antara/

KEPRI POST - Antusiasme masyarakat di Indonesia terhadap batik baik untuk pakaian formal maupun sehari-hari semakin tinggi dari waktu ke waktu.

Namun demikian, industri batik ini juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Dimulai dari ketersediaan printing, faktor produksi seperti bahan baku dan tenaga kerja, hingga fokus dalam pengembangan kain lokal.

Apalagi industri batik lokal kini harus menghadapi persaingan dengan batik impor China atau negara lainnya yang menggunakan teknologi printing dan menawarkan harga jauh lebih murah.

Baca Juga: Sejarah Hari Batik Nasional dan Tantangan Masa Depan di Era Kemajuan Teknologi

Berikut sejumlah masalah industri batik di Indonesia, khususnya yang berada di luar Jawa :

1. Printing
Ketersediaan printing yang valid dan mutakhir merupakan salah satu prasyarat untuk menyusun rencana pengembangan yang efektif dan efisien.

Dari total 27 provinsi, sebagian besar tidak memiliki printing atau tidak memperbaharui data.

Hal yang menjadi alasan antara lain belum adanya komunikasi antara pemerintah daerah dan industri batik, dan keterbatasan anggaran untuk melaksanakan pengumpulan data.

2. Bahan baku
Bahan baku merupakan salah satu komponen strategis dalam industri batik. Bagi industri batik yang berada di Pulau Jawa, bahan baku relatif mudah untuk dijangkau.

Kondisi sebaliknya dihadapi industri batik di luar Pulau Jawa, di mana bahan baku dibeli dari Pulau Jawa sehingga harus dikirimkan dan membutuhkan waktu yang relatif lama.

Hal ini berdampak padakurang lancarnya aktivitas produksi danmeningkatnya biaya produksi.

Baca Juga: Begini Cara Mudah Membuat Bisnis Plan untuk Pemula, Cek Tahapannya

3. Keterampilan tenaga kerja
Produksi batik, khususnya batik cap danbatik tulis membutuhkan keterampilan dan ketelitian. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa membuat batik.

Bagi industri batik di Pulau Jawa, tenaga kerja terampil relatif mudah ditemukan. Sementara bagi industri batik di luar Pulau Jawa, padaumumnya mengundang perajin batik dari Pulau Jawa untuk memberi pelatihan dalam kurun waktu tertentu.

Setelah itu, mengupayakan SDM lokal yang telah terlatih untuk menjadi tenaga kerja.

4. Pengembangan usaha kain lokal
Beberapa wilayah di luar Pulau Jawa lebih fokus pada pengembangan usaha kain lokal yang sudah ada sejak lama dibandingkan batik yang baru saja disosialisasikan oleh pemerintah sejak adanya pengakuan UNESCO.

Sebagai contoh, Provinsi Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan provinsi di Kalimantan memiliki kain lokalyang lebih berkembang daripada usaha batik.

Usaha kain lokal tersebut bahkan telah menembus pasar ekspor. Serapan pasar terhadap kain lokal ini juga sangat tinggi sehingga OPD di provinsi dan industri lebih memilih mengembakan usaha kain lokal.

Akibatnya insentif bagi usaha batik masih rendah dan membuat industri batik kurang berkembang.

Baca Juga: Paling Manjur, Ternyata 5 Bahan Alami ini Bisa Jadi Obat Gagal Ginjal Kata dr. Zaidul Akbar

5. Pengelolaan limbah
Sebagian besar industri batik di Pulau Jawa menggunakan bahan pewarna buatan. Keadaan ini dapat menjadi masalah di waktu yang akan datang karena limbah yang dihasilkan belum dikelola.

Bahkan, banyak industri yang membuang limbah ke sungai. Dampaknya, warna sungai berubah dan menghasilkan bau tidak sedap.

Hal ini dapat merugikan masyarakat yang mengandalkan sungai sebagai mata pencaharian atau aktifitas sehari-hari.*

Editor: Danisa

Tags

Terkini

Terpopuler