KEPRI POST – Indonesia telah diprediksi memiliki jumlah pengangguran paling banyak nomor 2 di Asia Tenggara pada 2023. Hal ini terjadi karena ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, dan suku bunga yang tinggi.
Tentu faktor tersebut bisa mempengaruhi tingkat pengangguran, termasuk di negara-negara Asia Tenggara. Menurut info yang beredar, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperkirakan, Filipina menjadi negara di Asia dengan tingkat pengangguran yang tinggi pada 2023.
Kemudian Indonesia menyusul di urutan kedua dengan tingkat pengangguran sebesar 5,3 persen. Disusul juga oleh Malaysia yang diperkirakan tingkat penganggurannya mencapai sebesar 4,3 persen. IMF juga memperkirakan di Negara Vietnam tingkat pengangguran disana mencapai sebesar 2,3 persen. Setelahnya ada singapura yang tingkat penganggurannya sebesar 2,1 persen.
Baca Juga: Atasi Pengangguran di Batam, Aman Dorong Disnaker Manfaatkan Website Lowongan Kerja dan Pelatihan
Sementara itu, Thailand diprediksi juga memiliki tingkat pengangguran sebesar 1 persen. Persentase tersebut menjadi yang terendah di Negara Asia Tenggara. Kemudian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat, pengangguran yang di Indonesia mencapai di angka 8,42 juta orang pada bulan Agustus tahun lalu.
Namun, jika dibandingkan pada periode yang sama pada satu tahun sebelumnya, jumlah pengangguran yang di Indonesia tercatat menurun. Pada Agustus 2021, jumlah pengangguran yang ada di Indonesia sebanyak 9,1 juta orang.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani menyebutkan bahwa salah satu permasalahan yang paling sering muncul adalah digitalisasi,yang disebabkan berkurangnya penyerapan untuk angkatan kerja dan juga sebabkan tingginya angka pengangguran.
Menurut Shinta, era digitalisasi ini telah berperan penting signifikan di banyak industri yang mulai menggunakan berbagai mesin berteknologi canggih dan juga menguras tenaga kerja yang sedikit. ”Karena sekarang kita lagi ada di era digitalisasi otomatisasi dan lain-lain kebutuhan tenaga kerja juga berkurang,” ucapnya.
Menurut Shinta permasalahan yang kedua adalah ketidaksesuaian antara latar belakang Pendidikan tenaga kerja dengan jenis pekerjaan yang tersedia di dunia kerja.***